ibu juara satu
*Perempuan yang bernama kesabaran
Anak-anak yang sedang gelisah dalam tidurnya
Permpuan
itu adalah ibuku
Perempuan yang menangguhkan segalanya
Bagi impian –impian yang mendatang
Telah memaafkan setiap dosa dan
kenakalan
anak-anak sepanjang zaman
perempuan itu adalah ibuku
bagi siapa Tuhan menerbitkan matahari surga
bagi siapa Tuhan memberikan singgasana-Nya
dan dengan segala ketulusan
ia membasuh setiap niat busuk anak-ankanya...
ya,
dialah ibuku... Ibu juara satu...
Ibu
yang diamnya berarti ”teruslah belajar, karena yang kita tahu hanya sedikit”
Tiba-tiba
saja aku sangat merindukannya... Merindukan semua yang ada padanya...
Senyumnya... Sapaan hangatnya... Belaian lembut tangannya yang sudah muali
keriput... Aroma tubuh yang selalu membutku nyaman beralma-lama berdekatan
dengannya...
haaah... aku benar-benar sedang
merindukannya...
Ibu
juara satu...
Perempuan
yang siang itu rela menerobos hujan berlari sejauh satu setengah kilo meter sambil membawa payung yang masih terlipat rapi
dan satu lagi payung besar untuk menghalangi guyuran hujan mengenai tubuhnya.
Memasuki gerbang sekolah anaknya yang sudah tidak begitu ramai oleh anak-anak.
Harap-harap cemas, berharap wajah-wajah anaknya segera dilihatnya. Berlalu
beberapa saat wajah-wajah mungil itu tidak juga muncul kehadapannya.
Diberanikanlah dirinya untuk tidak hanya menunggu, tapi mencari ke dalam
sekolah, kekhawatirannya muncul karena saat itu dia sedikit teralmbat
mengantarkan payung untuk anka-anaknya. Khawatir kalau anak-anaknya lebih
memilih untuk menerobos hujan daripada menunggunya. Kekhawatirannya sirna saat
dia melihat di depan salah satu kelas seorang anak laki-laki dan seorang anak
perempuan yang lebih kecil berdiri bersisian. Dari kejauhan sudah tampak kalau
mereka sedang meperdebatkan sesuatu hal. Sang anak laki-laki seperti sedang
sedikit memarahi adik perempuannya *anak perempuan yang sedang bersamanya,
karena tadi dia memaksa untuk tetap menunggu ibunya, padahal tadi ada ibu teman
mereka yang menawarkan untuk ikut pulang satu payung dengan mereka. Sang kakak
merasa pesimis ibunya tidak menjemput mereka, karena tadi pagi dia yang menolak
untuk membawa payung. Dan sekarang ibunya tak kunjung datang membawakan payung
untuk mereka. Sang adik hanya bisa diam karena keyakinannya yang tadi sangat
kuat sedikit demi sedikit menguap dengan ibu yang tak kunjung datang. Tetapi
belum sampai keyakinan anak perempuan itu habis, seorang perempuan yang sudah
sangat mereka kenal datang tergopoh-gopoh menghampiri mereka menghancurkan
perasaan-perassan tidak percaya mereka. Senyum tulusnya terus diberikan kepada
anak-anaknya meskipun dia tahu mereka sempat menyimpan rasa tidak percaya
padanya, dan saat putri kecilnya mengadukan padanya, dia hanya terus tersenyum
dan tidak menganggap itu penting, karena yang dia anggap penting adalah
menyaksikan anak-anaknya baik-baik saja. Dan dia sudah mendapatkan itu.
Atau
di saat yang lain saat usia anak-anaknya belum ada yang genap dua digit, sudah
tiga malam perempuan itu menghabiskan malam-malanya dengan berjaga, kalau pun
sempat memejamkan mata itu anugerah Sang Kuasa kepadanya untuk sejenak
membiarkan matanya terpejam. Sudah genap tiga hari, dua putra dan satu putri
kecilnya demam, bahkan anak lekakinya yang kedua dinyatakan positif tifus,
sedangkan putri kecilnya yang punya ashma saat itu pun ikut-ikutan kambuh.
Tidak ada keluhan sedikit pun darinya, hanya senyum yang selalu tersungging
untuk anak-anaknya. Meski pun ada kesepakatan untuk bergantian berjada dengan
laki-laki yang pernah dia katakan kepadaku sebagi penggenap tulang rusuknya,
tetap saja saat giliran bapak dari putra-putrinya berjaga dia memilih tetap
ikut berjaga, demi memastikan anak-anaknya baik-baik saja. Ya, selalu saja itu
yang dia jadikan alasan atas semua hal yang dia lakukan untuk anak-ankanya.
Malam itu, saat anugerah Alloh menghampirinya, putra pertamanya membangunkan
tidur yang tidak perempuan itu sengaja dengan rintihannya. Sigap, dia langsung
melihat kondisi putranya ternyata sang putra meminta minum. Meskipun raut
wajahya menunjukkan dia kurang tidur tetapi senyum itu tetap ada untuk anakya,
dengan segelas air dia mendekati putranya. Belum sampai bibir gelas itu
menyentuh bibir putranya, dari mult putranya tiba-tiba keluar muntahan yang
langung memenuhi gelas berisi minum yang baru diambilnya. Sempat sedikit kaget,
tetapi dia langsung bisa mengatasinya, tetap tersenyum menghilangkan rasa
bersalah sang putra. Karena muntahan itu tidak hanya mengenainya tetapi juga
mengenai seprei dan selimut anaknya, mau tidak mau dia harus menggantinya. Satu
persatu dengan hati-hati dia dan teman hidup laki-lakinya memindahkan
anak-anknya untuk mengganti seprei yang terkena muntahan. Lagi-lagi demi
melihat anak-anaknya baik-baik saja, meskipun dia baru mendapati tiga hari
kemudan, tetap saja senyum itu ada di wajah yang meskipun lelah tetap penuh
kecantikan dan kebijaksanaan.
Di
masa yang lain, sudah beberapa waktu putri kecilnya yang saat itu sudah masuk
kelas tiga sekolah dasar selalu terlihat murung saat pulang. Entah pulang
sekolah atau pun pulang bermain dengan teman-temannya. Puncaknya hari itu, setelah
pualng sekolah putri kecilnya lebih memilih untuk mengurung diri di rumah,
tidak ada minat sedikit pun untuk bermain bersama teman-temannya, atau pun saat
kakaknya mengajak bermain, dia tetap menolak. Saat perempuan itu menyadari
putrinya sedang mempunyai masalah, dia berusaha untuk tahu lebih dulu masalah
putrinya. Dengan hati-hati dia memancing putrinya untuk menceritakan masalahnya
sambil mengajak putrinya membantunya membuat adonan roti. Setelah putrinya
bercerita, ternyata putrinya sedang bermasalah dengan nama pemberian kedua
orang tuanya. ”Norombini Rumawas” jangankan arti atau asal bahasa,
melafalkannya pun orang harus mendengar berkali-kali untuk bisa melafaknannya
dengan benar. Anak kecil mana yang tidak sedih namanya dijadikan bahan
olok-olokan teman-temannya. Tidak hanya teman-teman seusianya, tetapi beberapa
orang dewasa yang ditemuinya atau bahkan gurunya, selalu menanyakan tentang
namanya, dan dengan keterbatasan seorang anak kecil, anak peremuannya selalu
hanya bisa menjawab tidak tahu. Dan dia anak menjadi sangat jengkel kalau ada
yang terus mendesaknya dan mengatakan ”masa si tidak ada artinya, kan orang tua
itu ngasih nama pasti ada artinya”...
>,<
Dengan
bijaksana peremuan itu mencoba menenangkan putrinya dengan mengatakan sambil
tertawa ”Bilang saja kalau ada yang
tanya lagi, namanya noni itu bukti cintanya orang tuanya noni ke noni.” Tidak
puas dengan jawaban itu, sang putri tetap menampakkan wajah murungnya.
Perempuan itu berkata lagi ”Ia, ma-e *panggilan untuk ibu serius. Jadi bapak
itu berprinsip bahwa semua anaknya pasti istimewa karena itu namanya juga harus
istimewa, salah satunya adalah dengan memberi nama anaknya yang jarang orang
memakai nama itu bahkan tidak ada. Itu karena bapak sangat mencintai kalian,
dan salah satu cara bapak mengngkapkan cintanya adalah dengan memberikan nama
yang istimewa kepada kalian, meskipun kadang orang lain bilang kalau nama
anak-anaknya ma-e aneh...” diakhiri dengan tawa perempuan itu. Ya, bagi anak
perempuan sekecil itu, tidak penting
penjelasan panjang lebar tentang namanya, yang dia tahu dia sudah menemukan
jawaban seandainya nanti ada yang mengusik namanya lagi. ”kalo mba masih kurang
yakin nanti tanya sendiri sama bapak.” sang perempuan melanjutkan kalimatnya.
Malamnya,
seperti biasa ba’da shalat maghrib ruang makan yang merangkap sebagai ruang
keluarga sudah ramai dengan celotehan dan tawa seisi rumah. Karena meskipun
rumah itu cukup besar tetapi kegiatan terpusat di ruang makan. Seperti malam
itu, akhirnya si gadis kecil memberanikan diri bertanya sekaligus mengadukan
apa yang tadi dikatakan ibunya, kepada bapknya tentang namanya. Lagi-lagi
dengan tawa, sang bapak mengamini apa yang dikatakan perempuan yang sekarang
sudah belasan tahun menjadi teman hidupnya. Dan menambahkan ”kalau ada yang
tanya artinya ’Norombini Rumawas’ bilang saja artinya anak perempuannya bapak
yang paling cantik dan paling pinter, terus kalau ada yang tanya dari bahasa
mana, bilang saja itu bahasa cintanya bapak. Sepakat?” mendapat dukungan penuh
dari sang bapak, gadis kecil itu hanya bisa tertawa menandakan kesepakatannya
dengan penjelasan itu. Ya, bapak juara satu (lain kali kalau Alloh mengizinkan
akan ku ceritakan tentang beliau). Meskipun saat itu si gadis kecil belum paham
definisi cinta yang berkali-kali disebut oleh orang-orang yang pertama kali
mengajarinya tentang cinta. Pada akhirnya wajah murung gadis kecil itu
menghilang berganti tawa riang. Meskipun saat gadis kecil itu beranjak besar
dia baru menyadari hal yang sebenarnya konyol tentang penjelasan namanya. Jelas
kalau sang bapak mengatakan ”anak perempuannya yang paling”, bagaimana tidak
”paling” kalau gadis kecil itu saja saat itu menjadi anak peremuan satu-satunya
di rumah itu. Subhanallohnya, setelah gadis kecil tadi berusia enambelas tahun Alloh ternyata memberikan tambahan berkah
untuk perempuan dan laki-laki yang mengucapkan qabul atas dirinya. Tambahan
satu putri untuk mereka. Alhasil, penjelasan tentang nama putri pertamanya
seharusnya sudah tidak berlaku. Karena gadis kecil pertamanya pun mengakui
kalau sang saudara kecilnya sepertinya akan lebih cantik dan lebih pintar darinya.
Tetapi, ”tipu-tipu” penjelasan tentang nama itu masih berlanjut sampai
sekarang. ^^
Beberapa
waktu yang lalu, saat putrinya tiba-tiba demam tinggi dan dokter pun
mengatakan, ”Mba, kalau dua hari lagi demamnya belum turun periksa ke lab ya,
ada indikasi gejala DB.” Lalu, malam harinya perempuan itu memberikan diagnosis
yang lain, ”wah, mba alergi dingin lagi tu... hujan-hujanan yak? ” dari jarak
beratus-ratus kilo meter hanya dengan dasar menedengar cerita apa saja yang
dilkukan putrinya beberapa hari itu, perempuan itu sudah memberikan pendapat
tetenag sakit putrinya, bahkan diagnosis dokter pun kalah...
”Heh? Alergi dingin, lagi? kan noni alergi
dinginnya ashma, bukan demam” putrinya
menanggapi.
”Hmmm...
mba, kan juga punya alergi dingin yang lain selain ashma, kalau sudah demam
kaya gitu biasanya itu gabag mba.. ” *salah satu penyakit gatal-gatal di kulit
yang biasanya diawali demam tinggi sedikit mirip dengan cacar.
Sang
putri hanya ber ooo... saja mendengar perkataan perempuan itu. ”hmmm... emang g
bakat jadi orang kaya kali ya ma, baru sehari tinggal di istana langsung
penyakitannya pada keluar... he..he...he...”
”Hus... istighfar, g boleh gitu disyukuri aja
apa yang ada sekarang”... Benar saja dua hari kemudian setelah demamnya turun,
muncul bintik-bintik merah disekujut tubuh putrinya...
Lagi-lagi
ibu juara satu, bahkan hal remeh-temeh tentang anaknya yang kadang anaknya
sendiri pun tidak mengingatnya, dia akan bisa mengingatnya... Ibu juara satuku...
Sedang
merindukannya... Ibu juara satu...
Ya,
sedang teringat sedikit dari banyak hal yang tidak mungkin terhitung yang sudah
dan pasti jika Alloh mengizinkan akan dilakukan seorang ibu untuk
anak-anaknya...
Aah...
maafkan anakmu yang bahkan untuk meluangkan sedikit waktu untuk mengingat bersyukur
untuk hal-hal yang sudah kau lakukan untuk mereka pun sering kali tidak
”sempat”...
sudut lt2 asrama RP
11.11.'11
*puisi ini ditemukan di buku catatan penulis, tetapi tidak berhasil ditemukan nama pengarangnya
mbaakkk...bapak e nengendi..? hehe
BalasHapus