Tentang
Pagi…
Dalam
heningnya ia menenangkan...
dalam
sejuknya ia menggerakkan...
dalam
cerahnya ia menguatkan...
Ini
cerita tentang pagi, karena yang Maha Kauasa hanya memberikannya
kepada pagi...
Bersama
beberapa saudara, emmm... lebih tepatnya satu keluarga. Malam itu
kami bersepakat untuk bisa melihat matahari terbit yah, bahasa
kerennya sun
rise esok
pagi. Meski hujan, malam itu selepas shalat maghrib berjama’ah kami
meluncur menuju salah satu penginapan di kaki merapi. Itung-itung
sekalian mabit ”malam bina iman dan taqwa” plus pisahan sebelum
kkn.
Paginya,
dari petunjuk salah satu anggota keluarga yang sudah melakukan
survei, ada tempat yang sepertinya ok untuk melihat matahari terbit.
Berdasar petunjuk itu, selepas shalat subuh kami langsung meluncur ke
lokasi yang ditunjukan saudara kami. Ternyata sebuah taman bermain
yang dilengkapi gardu pandang, lumayan gardu pandangnya cukup besar
dan tinggi, tiga lantai... karena masih pagi jadi taman bermain itu
belum di buka, so... harus mengeluarkan sedikit kretifitas,
keahlian, keberanian,
dan energi
untuk bisa naik ke gardu pandang itu... ^^V
Pagi
itu cukup mendung, sambil menunggu si ”terang”, kami membaca
dzikir al-Ma’surat bersama dan muraja’ah beberapa hafalan kami.
Selesai semua, yang kami tunggu tak nampak juga... Bekal sisa semalam
yang kami bawa pun semakin menipis, tapi si ”terang” belum tampak
juga... Lama kelamaan pesimis juga, mungkin posisi kami yang salah.
Kemudian kami mengubah posisi kami menunggu... berlalu, hanya sedikit
semburat keputihan yang terbiaskan cahaya lampu taman yang kami
lihat.. bulatan dan semburat jingga itu belum juga terlihat..
berpikir beberapa saat, baru salah satu dari kami sadar, kalu tempat
ini kan bukan gardu pandang sun
rise, tapi
gardu pandang merapi... selama apa pun kami menunggu dan melihat ke
arah timur, yang kami tunggu tidak akan terlihat dari sini. Benar
saja, saat kami melihat ke arah utara, si ”gagah” itu sudah
menampakan siluet dirinya... Subhanalloh.. Maha Suci Engkau Sang
pencipta Keindahan.. meskipun tak ada semburat jingga atau terangnya
matahari, tapi Kau menggantinya dengan biru dan siluet gagah itu...
Subhanalloh... hanya itu yang terus kami lafadzkan... Alloh selalu
lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya... seberapaun kamu ingin,
Alloh lebih tahu yang kamu butuhkan... eh, ada bonus bulan sabit
juga... ^^
”Bukankah
kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan, dan gunung-gunung
sebagai pasak ?”
(QS: 78: 6-7)
Di belahan
bumi yang lain, emmm... masih di Indonesia, sisi timur Indonesia…
Pagi itu
hari ke tiga kaki ini menginjak bumi cendrawasih, pagi yang mendung
tapi bersemangat... pagi itu ada undangan dari warga untuk ikut
membantu mereka berladang. Tepat
pukul 06.30 WIT kami melucur ke ladang yang di maksud. Sempat sedikit
kaget, karena ladang yang dimaksud ternyata kalau di tempat tinggal
kami di Jawa masih di sebut hutan. -,-a
Pagi
yang sudah mendung itu, akhirnya diguyur hujan... subhanalloh,
merasakan kali pertama hujan di bagian lain Indonesia... kalau saya
menyebutnya ”eksotis”.
Ini
semua hanya bisa kita lihat saat pagi…
Embun
ini, hanya ada saat pagi, haha... meskipun ini di ambil di Papua dan
kita sebenarnya bisa melihat ini di mana pun, tetap saja hal seperti
ini hanya akan kita lihat saat pagi..
Insyaalloh
ini embun, serius bukan air hujan apa lagi disiram air sumur...
Ini
juga masih tentang pagi…
Yupz,
Alloh selalu punya cara-Nya sendiri untuk menarbiyah hamba-Nya...
Waktu
disengaja ingin melihat si jingga keluar dari peraduannya, Alloh
memberi biru dan siluet gagah sang merapi. Ini, giliran tidak ada
keinginan untuk itu, Alloh memberikannya dengan cuma-cuma... tanpa
harus hujan-hujanan ataupun memajat menerobos pintu masuk gardu
pandang... ^^
Dalam
perjalanan ke pasar, di salah satu pantai selatan jogja
”Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS: 55:55)
Yupz,
itu sedikit cerita tentang pagi yang dizinkan Alloh untuk saya nikmati dan rekam
dengan berbagai keterbatasan saya...
Pasti
semua orang juga pernah mengalami pagi (ia lah... Alloh memberikan
waktu yang sama kepada semua makhluk-Nya di dunia), bedanya pilihan
untuk menikmati pagi itu...
Apakah
kita akan melwatkannya dengan berselimut nyaman di atas kasur... atau
dengan rutukan karena harus memulai lagi aktivitas hari itu...,
Ataukah
dengan menyukuri anugerah waktu dengan bergegas bertebaran dan
menebarkan kebaikan di muka bumi?
Seperti
salah satu tauladan umat ini, Abubakar as-Sidiq seperti yang
dikisahkan ’Abdurrahman Asy-Syarqawi dalam Al-Khalifatul Ula. Suatu
kali usai shalat Subuh, demikian tulisnya, Rasulullah Shallallahu
’Alaihi wa Sallam menghadap ke arah sahabat-sahabatnya dengan penuh
senyum. Binar matanya menyejukkan. Disapukannya pandangan pada wajah
mereka satu demi satu hingga semuanya merasakan hangatnya perhatian
beliau.
”Siapa
gerangan yang pagi ini dalam keadaan puasa?” tanya beliau.
”Ya
Rasulullah, semalam aku tidak berniat puasa,” sahut ’Umar, ”Maka
hari ini aku tidak shaum.”
Sang
Nabi mengangguk pada ’Umar lalu berpaling ke arah Abu Bakar dengan
senyum makin lebar. Yang ditatap tertunduk malu.
”Semalam
aku juga belum berniat untuk berpuasa wahai Nabi Allah,” kata Abu
Bakar, ”Tetapi pagi ini aku shiyam, insyaAlloh.”
”Segala
puji bagi Allah,” tukas Sang Nabi dengan wajah bercahaya. ”Siapa
pula yang hari ini telah menjenguk orang sakit?” lanjut beliau.
”Duh
Rasulullah,” ujar ’Umar, ”Kita belum keluar sejak kita shalat
tadi. Bagaimana bisa ada yang telah menjenguk orang sakit?” para
sahabat lain membenarkan ’Umar dengan anggukan dan gumam.
”Adalah
sahabat kita ’Abdurrahman ibn ’Auf sakit, Ya Rasul.” tukas Abu
Bakar tersipu-sipu, ”Maka dalam perjalanan ke masjid tadi aku
mampir sejenak untuk menjengukanya.”
Rasulullah
kembali bertahmid dan mengangguk-anggukan kepala. ”Dan siapa
jugakah yang hari ini telah memberi makan fakir miskin?”
”Kami
semua berada di sini sejak sembahyang berjama’ah tadi,” kembali
’Umar menyambut. ”Kami belum sempat melakukan derma dan sedekah,
Ya Rasulullah.” Kali ini ’Umar berkata sambil melirik Abu Bakar.
Tampak lelaki kurus jangkung itu memelengkungkan tubuhnya hingga
wajahnya nyaris tak terlihat. Harap-harap cemas ’Umar menti Abu
Bakar bicara. Tapi agaknya kali ini Abu Bakar juga bungkam. Suasana
jadi Sunyi.
”Bicaralah
wahai Abu Bakar!” tiba-tiba Sang Nabi memecah hening.
Abu
Bakar tetap menunduk. ”Aku malu Ya Rasulullah,” katanya
celingukan seperti tertuduh tak bisa mengelak. ”Memang tadi di luar
masjid kulihat seorang fakir sednag duduk menggigil. Di genggaman
putraku ’Abdurrahman ada sepotong roti. Maka ku ambil ia dan
kuberikan kepada lelaki kelaparan itu.”
”Alhamdulillah.
Alhamdulillah. Alhamdulillah...” kata Sang Rasul takjub. Belau
tampak lega. Beliau terlihat bangga.
(DDU,
pages 357-358)
Sepagi
itu, bahkan disaat yang lain masih menyibukan diri dengan urusan
pribadinya. Abu Bakar sudah melangkah lebih depan, tiga kebaikan
sudah beliau taburkan bahkan di saat kaki beliau belum beranjak dari
masjid selepas jama’ah subuh.
Lagi-lagi
semua itu pilihan...
Sangat
tepat jika Rasulullah menganjurkan umatnya jangan tidur saat matahari
terbit atau pun saat matahari tebenam... selain janji merugi,
kesempatan kita untuk bisa menyaksikan dan merasakan hal seperti ini
semua sepertinya akan berkurang banyak... karena setiap pagi
menyimpan keajaibannya sendiri untuk siapa saja yang memilih untuk
bersamanya...
So..
semangat menikmati pagi penuh kesyukuran dengan cara yang paling
istimewa... ^^
Menjelang
pagi, di sudut asrama RP
30
oktober 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar